Pengertian Fiqh dan Sejarah perkembangannya
1. Pengertian
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh
berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan
amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang
mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang
yang mendalami fiqh.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua
makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian
dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang
tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh
adalah mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum
shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan fiqh Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari
berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun
fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan
lain-lain.
2. Sejarah perkembangan Fiqh
Zaman Rasulullah S.A.W.
Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu
(al-Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul
akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus
berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri.
Namun, terdapat sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran
berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal yang
diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang
tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul
dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari
al-Quran dan as-Sunnah kerena:
1. Penguasaan bahasa Arab yang baik;
2. Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau
sabab wurud al-hadis;
3. Mereka merupakan para Perawi Hadis.
Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup
untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk
kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang
ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan
menggunakan kaedah qias. Inilah cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam
kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin
al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya
mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda
dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah
S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum
tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk
kepada pandangan para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk
menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang
digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin
al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah.
Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran
antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam
kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak
masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara
jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-kaedah tertentu
yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad
mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di
dalam sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris
as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi
kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh
kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi
fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang
dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua
periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi
menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya
Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya
berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena
penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah
SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju
pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak
jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk
mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada
Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang
menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini
disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidin.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai
Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41
H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini
dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara
jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi
khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan
hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk
Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan
budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah
sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi
yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam
persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru
itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari
tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi
SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya,
mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2
H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah
semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki
jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum
yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai
persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial
masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan
Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik
Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam
menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di
tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci.
Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan
kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas
dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. dari
perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan
Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid
bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab
(Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah
itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum
adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab
persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat
pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota
inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang
berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha
Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan
pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di
Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu
Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem
penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim
an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin
Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di
Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di
Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga
bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan
murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.),
Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus,
Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat
tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan
dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing.
Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut,
diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh
Sufyan as-Sauri.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan
abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam
periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri
khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di
kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan
berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama,
tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan
yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha
untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan
sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh
misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf
untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan
dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun
buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775)
menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh
yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar
inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang
disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan
ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini
juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan
praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan
terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid
kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah
ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini,
maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan
ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam
meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga
dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk
mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits.
Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di
samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung
fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran
yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai
dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik,
al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam
asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah
oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun
bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan
abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya
yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan
mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil
ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka
anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab
(mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya).
Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap
satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab
imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk
pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya,
paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
- Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh
yang disetujui khalifah saja.
- Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa
analisis) di kalangan murid imam mazhab.
- Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu
sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti.
Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan
oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai
persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul
sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih
jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga
subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam
menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang
ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat
dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan
mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih
banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab
masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku
yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang
ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26
Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini
dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan
terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.
Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang
muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan
mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan
tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam
mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah
secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan
satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk
mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab
mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh
yang menonjol pada periode ini.
- Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga
banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini
disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab
fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan
yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada
kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
- Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa
Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di
pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum
(fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun
menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah,
namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan
dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad
wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya
suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan
syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi
tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut
diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang
tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya
tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau
melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi
Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim
[1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
- Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam
sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak
pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi